Minggu, 04 Juli 2010

POLITIK PARA ELIT DI ERA PEMILU 2009
MENUJU INDONESIA BARU

Oleh Salahudin, S.IP


Setelah mengamati berbagai fenomena politik yang terjadi akhir- akhir ini, syahwat politik para elit ataupun masyarakat pada umumnya mulai menampakkan strategi dan taktik politik yang cukup menghebohkan dalam ruang publik. Orientasi dari strategik dan taktik politik para elit adalah memiliki orientasi yang sama yaitu ingin mendapatkan simpatisan sebagai pendukung eksistensi politik. Kondisi yang demikian adalah sesuatu hal yang wajar terjadi dalam sistem demokrasi. Pertanyaannya adalah sejauhmana politk para elit berdampak pada kecerdasan politik masyarakat, dan sejauh mana berimplikasi pada perubahan bangsa menuju bangsa yang lebih baik dan mampu mensejahterkan masyarakat?

Pemilu adalah bagian dari nilai demokrasi yang berusaha menempatkan kompetisi antar individu, kelompok, dan komunitas- komunitas tertentu untuk mencapai kekuasaan politik, baik dalam tataran legislatif maupun eksekutif. Dengan demikian, akan menjadi menarik ketikan kita mengkaji bagaimana eksistensi politik para elit di era pemilu 2009. Dalam teori elit, ada berbagai macam elit diantaranya: elit birokrasi, elit partai poltik, elit media masa, elit agama, elit selebritis, dan elit oraganisasi kemasyarakatan. Dalam tataran praktiknya, sederetan elit tersebut hampir tidak dapat dibedakan. Pasalnya, elit agama ataupun elit yang lainnya diluar elit politik berlomba- lomba untuk masuk dalam tataran politik. Elit diluar elit politik berubah menjadi elit poltik. Fenomena tersebut akan menjadi yang wajar- wajar saja sebagai pengembang demokratisasi Indonesia. Menurut hemat penulis politik adalah bukan kasta atau dinasti yang hanya bisa dinikmati oleh orang- orang tertentu saja katakanlah para elit partai politik atau ilmuwan politik. Meskipun demikian, penulis ingin menegaskan elit yang masuk dalam politik adalah elit yang memiliki sense of responsibilty atas persoalan bangsa, memiliki komitmen, dan visi strategis yang berorentasi jangka panjang. Inilah elit yang diharapkan.

Namun persoalan lain menggambarkan, bahwa banyak para elit menjalankan politik pragmatis, politik oportunis, yang hanya melakukan mobilisasi massa untuk mencapai kekuasaan tanpa memiliki visi yan jelas. Dalam benak politik mereka (elit), kekuasaan adalah sebagai alat untuk melakukan pemberdayaan poltik pribadi, kelompok, afiliasi politik (parpol), dan sebagai investasi untuk politik masa depan. Fenomena politik tersebut menggambarkan aksi politik yang berdasarkan teori politik Machevelli, yaitu merebut kekuasaan dengan segala cara, termasuk mengatasnamakan agama untuk politik, mengatasnamakan suara rakyat untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya. Kondisi politik yang demikianlah yang mengancam keberlangsungan demokratisasi di Indonesia. Seharusnya, para elit harus sadar bahwa pemilu adalah momen politik untuk membangun bangsa dengan melalui pergantian kepemimpinan menuju pemimpin yang bermental progresif secara intelektual, moral, dan kepribadian politik yang berkualitas tinggi (high pilitic).

Meminjam istilah Amin Rais, politik moral adalah high politik. Dalam high politic ada tiga aspek yang harus dimiliki, diantaranya: Amanah, Pertanggungjawaba, dan Sosial. Politik Amanah adalah kesadaran individu atas kekuasaan yang merupakan mandat masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan atas segala konsekuensinya. Politik pertanggungjawaban adalah kekuasaan yang harus dipertanggungjawabkan kepada suluruh umat. Politik sosial adalah kekuasaan untuk semua orang, bukan pribadi atau kelompok tertentu. Negara indonesia yang masih mengalami transisis demokrasi, kiranya akan menjadi wajib bagi semua kalangan, khususnya kalangan elit untuk menjalankan high politic, yang nantinya akan memperkokoh demokratisasi Indonesia menuju indonesia baru yang mencerminkan negara kesejahteraan (welfare state).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar